Heyy… sekarang saya mau bahas tentang salah satu tradisi di Belitung. Lanjutkan bacanya yaph..
Di daerah Belitung. Warga etnis keturunan Tionghoa lumayan banyak. Karenanya di pulau tersebut, banyak di temukan tradisi buadaya Tionghoa yang sudah memasyarakat. Satu di antaranya adalah tradisi yang di kenal dengan sembayang rebut. Mereka menyebutnya dengan Chit Ngiat Pan. Etnis keturunan Tionghoa mempercayai bahwa di setiap tanggal 15 bulan ke -7 tahun Imlek, pintu akherat terbuka. Selain itu, mereka percaya bahwa arwah-arwah yang berada di dalamnya akan gentayangan di dunia. Agar tidak menggangu, maka manusia harus menyiapkan berbagai makanan, pakaian, uang. Konon, sajian tersebut adalah bentuk sogokan bagi arwah tidak menimnbulkan kerusakan dan gangguan. Itulah kira-kira tujuan utama di selenggarakannya Sembayang Rebut.
Menjelang penyenglenggaraan, warga Tionghoa membawa berbagai makanan untuk kemudian di pajang di halaman kelenteng. Makanan dan sajian yang terkumpul di susun berjejer di atas altar yang besar. Ritual akan di mulai setelah banyak rang yang datang. Pada saat ini yang datang bukan saja dari etnis Tionghoa, tapi juga warga melayu yang berada di sekitar Belitung.
Prosesi ritual di mulai dengan pembakaran hio. Tentu di iringi dengan pembacaan-pembacaan doa oleh tokoh agama. Biasanya d mulai sore hari. Mekanya ketika matahari mulai tenggelam dan malam gelap. Suasana menjadi sangat khusuk. Pada waktu inilah warga tionghoa memanjatkan doa agar di tahun-tahun mendatang hidup mereka lebih bahagia dan di jauhkan dari segala bencana. Bencana dan musibah, menurut mereka datang dari arwah-arwah yang gentayangan. Karena itu merka harus di senangkan hatinya. Seru juga ya.
Menjelang tengah malam, ketika asap hio sudah menyelimuti klenteng, suasana masih hening. Arwah-arwah yang bergentayangan akan menghilnag di perkirakan sekitar tengan malam. Ini di tandai dengan pembakaran patung Thai Se Ja atau symbol “hantu Gede”. Barulah arwah-arwah gentayangan kembali ke hibitatnya, dan kehidupan manusia kembali normal. Lega deh!
Nah, inilah saat yang di tunggu warga yang sejak tadi hadir di sekitar kelenteng. Mereka langsung merangsek, siap memperebutkan sesaji yang ada. Makanya, tradisi ini di sebut dengan Sembah yang Rebut. Semua berebut. Mereka yang berebut percaya, makin banyak dapat barang dari sesaji, makin jauh pula dari musibah. Tak heran nih, di antara peserta hanya mendapatkan potongan-potongan makanan atau bendayang tidak lengkap.
Situasi yang ricuh, suasananya yang ramai adalah pemandangan tersendiri. Meski peserta saling sikut, mengerahkan tenaga demi mendapatkan sesuatu, tapi tidak heran jadi ketegangan atau tidakan anarkis sesame peserta. Mereka berebut tapi tidak saling menjatuhkan atau melukai. Selesai dengan aman.
Di daerah Belitung. Warga etnis keturunan Tionghoa lumayan banyak. Karenanya di pulau tersebut, banyak di temukan tradisi buadaya Tionghoa yang sudah memasyarakat. Satu di antaranya adalah tradisi yang di kenal dengan sembayang rebut. Mereka menyebutnya dengan Chit Ngiat Pan. Etnis keturunan Tionghoa mempercayai bahwa di setiap tanggal 15 bulan ke -7 tahun Imlek, pintu akherat terbuka. Selain itu, mereka percaya bahwa arwah-arwah yang berada di dalamnya akan gentayangan di dunia. Agar tidak menggangu, maka manusia harus menyiapkan berbagai makanan, pakaian, uang. Konon, sajian tersebut adalah bentuk sogokan bagi arwah tidak menimnbulkan kerusakan dan gangguan. Itulah kira-kira tujuan utama di selenggarakannya Sembayang Rebut.
Menjelang penyenglenggaraan, warga Tionghoa membawa berbagai makanan untuk kemudian di pajang di halaman kelenteng. Makanan dan sajian yang terkumpul di susun berjejer di atas altar yang besar. Ritual akan di mulai setelah banyak rang yang datang. Pada saat ini yang datang bukan saja dari etnis Tionghoa, tapi juga warga melayu yang berada di sekitar Belitung.
Prosesi ritual di mulai dengan pembakaran hio. Tentu di iringi dengan pembacaan-pembacaan doa oleh tokoh agama. Biasanya d mulai sore hari. Mekanya ketika matahari mulai tenggelam dan malam gelap. Suasana menjadi sangat khusuk. Pada waktu inilah warga tionghoa memanjatkan doa agar di tahun-tahun mendatang hidup mereka lebih bahagia dan di jauhkan dari segala bencana. Bencana dan musibah, menurut mereka datang dari arwah-arwah yang gentayangan. Karena itu merka harus di senangkan hatinya. Seru juga ya.
Menjelang tengah malam, ketika asap hio sudah menyelimuti klenteng, suasana masih hening. Arwah-arwah yang bergentayangan akan menghilnag di perkirakan sekitar tengan malam. Ini di tandai dengan pembakaran patung Thai Se Ja atau symbol “hantu Gede”. Barulah arwah-arwah gentayangan kembali ke hibitatnya, dan kehidupan manusia kembali normal. Lega deh!
Nah, inilah saat yang di tunggu warga yang sejak tadi hadir di sekitar kelenteng. Mereka langsung merangsek, siap memperebutkan sesaji yang ada. Makanya, tradisi ini di sebut dengan Sembah yang Rebut. Semua berebut. Mereka yang berebut percaya, makin banyak dapat barang dari sesaji, makin jauh pula dari musibah. Tak heran nih, di antara peserta hanya mendapatkan potongan-potongan makanan atau bendayang tidak lengkap.
Situasi yang ricuh, suasananya yang ramai adalah pemandangan tersendiri. Meski peserta saling sikut, mengerahkan tenaga demi mendapatkan sesuatu, tapi tidak heran jadi ketegangan atau tidakan anarkis sesame peserta. Mereka berebut tapi tidak saling menjatuhkan atau melukai. Selesai dengan aman.
wah seru deh kalau begitu tetapi yang penting tidak membuat oarnag lain terluka kan kasihan
ReplyDeletejordan 4
ReplyDeletekyrie 4
christian louboutin outlet
nike cortez
air max 90
yeezy shoes
michael kors outlet
coach
nike 270
yeezy
xiaofang20191217